Saturday, February 14, 2015

LCS: Tidak Lagi Memakai Pendekatan Bandeng Presto



Perkembangan demam di Laut Cina Selatan semakin bulan ( kalau tidak ingin disebut semakin hari) semakin menunjukkan intensitas lagak diri dari seorang pemain yang merasa paling berhak, Cina. Secara diam-diam Cina membangun sebuah pangkalan militer di salah satu gugus kepulauan Spratly yang juga di klaim Filipina.  Pembangunan basis militer itu jelas mengancam negara-negara ASEAN.

Cina sedang bergiat diri membangun kekuatan armada laut dan udaranya.  Saat ini saja kekuatan angkatan udara dan lautnya tidak tertandingi meski seluruh negara ASEAN dikumpulkan kekuatan militernya. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia dengan dukungan kekuatan militer bernaluri ekspansif boleh jadi target kekuatan serbu yang dicanangkan pada tahun 2020 menjadi sebuah momok bagi negara ASEAN yang berteritori di LCS, termasuk Indonesia.  Dan itu hanya 5 tahun dari sekarang.

Apache sedang melatih Penerbad
Dalam bingkai LCS, Indonesia mestinya tidak lagi menjalankan politik bandeng presto dalam diplomasi dengan Cina.  Indonesia, bersama Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand adalah pendiri ASEAN. Jadi mestinya ASEAN tetaplah nomor satu. Artinya negara-negara anggota ASEAN yang punya klaim alias sengketa LCS dengan Cina harus lebih diutamakan aspirasinya ketimbang si Naga. Jangan menampilkan gaya diplomasi bandeng presto.  Ketika di internal ASEAN (dalam kenetralan kita), menjadi sebuah unjuk kerja persoalan yang dinamis dan panas lalu ketika Indonesia berhadapan dengan Cina menjadi bandeng duri lunak. Cina harus dihadapi dengan ketegasan, tidak ada kata lain yang lebih tepat dari itu.  Indonesia harus mengambil sikap.

Salah satu aroma ketegasan itu adalah dengan membangun pangkalan militer segala matra di Natuna.  Saat ini kepulauan Natuna tidak masuk dalam klaim Cina terhadap LCS tetapi bukan tak mungkin negeri semilyar umat itu suatu saat kembali mengklaim manakala seluruh kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel berhasil dikuasainya. Jadi bangunkan Natuna, siapkan alutsista strategis, tempatkan 1 skuadron jet tempur dan kapal-kapal perang secara permanen disana. Natuna adalah jawaban militer terhadap arogansi klaim lidah naga yang menjulur kemana-mana.

Disamping membangun kekuatan militer lebih agresif, Indonesia sudah mulai harus memikirkan perlunya aliansi militer dengan sahabatnya di ASEAN utamanya yang “merasa terdesak dan kalah gertak” dengan klaim Cina seperti Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina.  Jika aliansi militer dengan 4 negara ini menjadi kenyataan tentu mampu menjadi kekuatan bargaining diplomasi.  Kekuatan diplomasi bagaimanapun harus dibayangi dengan kekuatan militer sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam setiap sengketa internasional.

Berhadapan dengan Cina seperti berhadapan dengan tembok, makanya ASEAN harus membangun tembok juga untuk membuka celah diplomasi setara.  Sebab jika Vietnam atau Filipina atau Malaysia berhadapan one by one dengan Paman Mao, dijamin tak akan ada hasil yang didapat, bahkan mungkin pelecehan militer.  Masih ingat ketika armada kapal perang Cina menghampiri beberapa pulau yang diklaim Filipina dan Malaysia dalam perjalanan unjuk kekuatan mulai dari LCS, selat Sunda, lalu unjuk kebolehan di hidung Australia sebelum akhirnya pulang melalui selat Lombok dan selat Makassar.
Sapuan Lidah Naga
Secara tersirat sebenarnya pergeseran sikap Indonesia itu makin terlihat dengan mulai mengarah pada persekutuan tak tertulis dengan AS.  Ikut sertanya DIRI (Defense Institution Reform Initiative) AS menjadi konsultan pertahanan, ikut merancang strategi pertahanan, penguatan sistem dan manajemen pertahanan Indonesia menunjukkan adanya perubahan sikap. Disamping itu ada berbagai penawaran alutsista canggih seperti helikopter Apache, jet tempur F16 blok 60 lengkap dengan persenjataannya. Ada kabar bahwa AS juga menawarkan beberapa fregat operasionalnya untuk memperkuat angkatan laut Indonesia.

Ketegasan sikap Indonesia perlu ditunjukkan, sama halnya ketika kita melakukan penenggelaman kapal-kapal asing maling ikan, melanggar teritori kita.  Dan kita bisa melaksanakan itu. Juga ketika kita tegas menembak mati narapidana narkoba warga negara asing yang sudah ditolak grasinya, meski Brazil dan Belanda mutung lalu menarik Dubesnya dari Jakarta.  Belakangan Belanda sudah sembuh dari mutungnya dan kembali mengirim Dubesnya ke Jakarta.  ASEAN tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan konflik besar di LCS.  ASEAN harus punya formula jitu untuk menjinakkan si Naga yang sudah menyemburkan api permusuhan di kawasan kaya sumber energi itu.

Kalau kita jeli membaca kunjungan lima hari Panglima TNI ke Cina akhir Februari 2014, usai dari kunjungan Jenderal Moeldoko mengatakan dengan tegas bahwa kita akan membangun pangkalan militer besar di Natuna.  Tak lama kemudian Menhan Purnomo waktu itu menambahkan kita akan menempatkan helikopter Apache diNatuna. Boleh jadi pesan ini sebagai hasil pertemuan dengan petinggi militer disana yang tetap berwajah ketat ketika diajak ngomong soal LCS.  Maka ini bisa jadi menjadi awal perubahan sikap itu secara militer.

Kita meyakini bahwa aliansi militer beberapa negara ASEAN sekaligus perkuatan militer Indonesia akan membuka peta jalan baru sekaligus mencairkan cara pandang Cina terhadap LCS, bahwa jalan dialog dengan kesetaraan merupakan solusi win-win. Tameng dari diplomasi itu adalah kesetaraan kekuatan militer.  Aliansi militer 4 negara ASEAN dengan dukungan Australia, Jepang dan AS boleh jadi akan membuat pihak sana berhitung ulang. Namanya juga skenario, apapun boleh dirancang tergantung perubahan situasi.  Jika Indonesia punya inisiatif, boleh jadi ini adalah salah satu langkahnya.
****
Jagarin Pane / 14 Feb 2015