Wednesday, January 14, 2015

Tidak Lagi Kekanak-Kanakan



Ada yang menarik dalam episode pencarian pesawat Airasia di laut Jawa ketika KRI Bung Tomo 357 yang baru seminggu ikut kafilah BASARNAS mencari dan menemukan korban pesawat rute Surabaya-Singapura itu, ditarik dari kontingen SAR lalu digantikan dengan KRI Usman Harun 359.  Logika operasional sebuah kapal perang sekelas KRI Bung Tomo adalah 20 hari tanpa bekal ulang. Artinya selama waktu itu mampu menjalankan tugas operasi militer ataupun operasi militer selain perang.

Sepertinya sih ingin menguji nyali Singapura yang sempat emosional dengan penamaan kapal perang baru Indonesia yang dibeli dari Inggris, dengan nama KRI Usman Harun. Singapura menganggap penamaan kapal perang itu tidak pantas untuk meyandang nama dua orang KKO Indonesia (sekarang marinir) yang dihukum gantung di Singapura karena perbuatan terornya pada masa Dwikora. Padahal penghukuman mati itu sendiri sangat menyakitkan rakyat Indonesia. Tetapi dengan kedatangan PM Lee Kuan Yew tahun 1973 ke Indonesia dan berziarah ke makam kedua pahlawan bangsa itu, persoalan sejarah kelam telah tutup buku.
KRI Banda Aceh 593 dalam operasi SAR Airasia
Pergantian KRI Bung Tomo dengan KRI Usman Harun dalam operasi SAR terbesar di Indonesia itu ternyata tidak membuat Singapura menarik kedua kapal perangnya dari Laut Jawa.  Dan tetap ikut serta dalam kafilah kemanusiaan yang mulia sebagai akibat musibah Airasia.  Singapura tentu tidak ingin disorot dunia jika menarik diri dari operasi militer selain perang itu hanya karena ketersinggungan pada sebuah nama. Kita angkat topi dengan kedewasaan cara pandang dan cara langkah pemerintah Singapura utamanya Kementerian Pertahanan yang lebih mengutamakan misi kemanusiaan daripada mengumbar emosi terhadap KRI Usman Harun.

Kebijakan sebuah negara untuk memberi penamaan terhadap asset militernya tidak bisa diintervensi oleh negara manapun dan oleh sebab apapun.  Negara adalah eksistensi bangsa yang memiliki kekuatan martabat, derajat dan harga diri yang tak bisa ditawar untuk menentukan kebijakan dan cara bernegara berdasarkan kesepakatan final elemen sumber daya didalamnya. Indonesia dalam menjalankan harkat dan martabatnya di medan pergaulan antarbangsa tidak ingin mencampuri cara pandang bangsa lain dalam pola berbangsanya. Itu juga yang diharapkan Indonesia sepanjang sejarah perjalanannya, tidak ingin negara lain ikut campur dalam pola kebijakan yang dijalankan berdasarkan harkat dan martabat itu.

Singapura mestinya sudah memahami itu. Perjalanan berbangsa dan antarbangsa di kemudian hari akan mampu menjelaskan bahwa kebesaran Republik Indonesia tidak akan terbendung lagi dan tidak akan mampu dilakoni dengan patron mendikte oleh negeri pulau itu.  Perjalanan pertumbuhan ekonomi kesejahteraan yang dilalui bangsa ini sedang dan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi besar dunia.  Sekarang saja PDB kita sudah menjadi nomor satu di ASEAN.  Belum lagi perkuatan militer yang terus menerus dilakukan diniscayakan akan menjadikan negeri ini yang terkuat di ASEAN sebagaimana didengungkan oleh Presiden Jokowi baru-baru ini.
Salah satu kapal modern BASARNAS jenis catamaran
Semangat bertetangga dan memahami dinamika bertetangga harus bisa dijalankan dengan irama kesantunan, bukan irama mendikte karena merasa lebih sejahtera dan kaya.  Yang tidak bisa tergantikan atau terkalahkan dari Republik Indonesia terhadap Singapura adalah wilayahnya yang luas, kaya sumber daya alam, jumlah penduduknya  yang besar, memiliki semangat nasionalis patriotik. Sementara saat ini dan seterusnya sumber daya manusianya semakin cerdas, tingkat kesejahteraan semakin baik, kekuatan ekonomi Indonesia menjadi penentu bukan lagi pengikut, kekuatan militer kita semakin gahar dan bangsa ini mampu menjalankan nilai demokrasi yang egaliter.

Dalam perspektif itu kita melihat Singapura sudah bisa membaca tanda-tanda perubahan jaman, tanda-tanda perkuatan ekonomi dan militer Indonesia yang tak terbendung lagi.  Dalam bingkai itu mestinya Singapura tidak melihat negeri ini sebagai ancaman melainkan sebagai mitra kerjasama ekonomi yang simbiosis mutualistis. Sementara kekuatan militer masing-masing negara sejatinya adalah mengawal kerjasama ekonomi untuk kesejahteraan dan kesetaraan.  Kekuatan militer yang dimiliki adalah untuk menjaga posisi kehormatan dan martabat masing-masing negara untuk tetap berlaku wajar dalam bingkai kerjasama antartetangga.

Militer Indonesia telah mampu menunjukkan manajeman operasi militer selain perang seperti yang ditunjukkan dalam operasi Airasia.  Singapura menyaksikan itu dan boleh jadi menjadi pembelajaran bagi negaranya.  Bahwa tidak boleh menganggap enteng kemampuan militer Indonesia, ketangguhan dan kecakapan prajurit TNI, berbagai jenis alutsista yang disertakan, koordinasi antar satuan semua berjalan cemerlang dan itu disaksikan oleh dunia dengan kagum.

Memperlihatkan cara pandang kekanak-kanakan hanya dalam soal penamaan kapal perang diharapkan menjadi bab akhir dalam pola egoisme bertetangga. Kedepan nilai pertetanggaan yang dibangun dengan semangat kerjasama akan menjadi kekuatan sinergitas ekonomi tak tergantikan. Sepanjang jaman ini Indonesia dan Singapura juga ASEAN ditakdirkan hidup berdampingan.  Catatan perjalanannya adalah jika kekuatan ekonomi dan militer kita lemah, kita mudah didikte.  Maka perkuatan ekonomi dan militer kita yang sedang bergelora dan digelorakan saat ini adalah jawaban dari catatan perjalanan itu.  Singapura sudah membaca itu dan boleh jadi sudah mulai tahu diri.
****
Jagarin Pane / 14 Jan 2015