Monday, February 10, 2014

Singapura, Biarkan Dia Dengan Kegelisahannya



Akhir bulan Maret mendatang, jika tidak aral melintang Presiden SBY akan meresmikan batalyon Marinir 10 di Batam Riau.  Begitu penting kah sehingga peresmian sebuah satuan tempur berkualifikasi serbu harus diresmikan oleh orang nomor satu di negeri ini.  Lalu adakah kaitannya dengan kegalauan Singapura mempermasalahkan KRI Usman Harun dengan kehadiran satuan tempur “hantu laut” di depan rumahnya.

Penempatan satuan tempur secara permanen di batas terdepan negara yang langsung berhadapan dengan halaman tetangga memiliki arti penting dan strategis. Pembangunan batalyon Marinir 10 di pulau Setoko Batam adalah atas instruksi langsung panglima tertinggi SBY.  Sehingga suka atau tidak suka batalyon ini memiliki aura yang berbeda dengan satuan lain meski personil yang akan mengisi satuan ini diambil dari sejumlah batalyon Marinir di Jawa.  Inilah satu-satunya batalyon tempur Marinir yang berhadapan langsung dengan rumah sebelah.  Ke depan sangat dimungkinkan pengembangan satuan tempur ini menjadi setingkat Brigade.
Tank Amfibi BMP3F dalam latihan serbuan pantai
Bagi Singapura sangat dimungkinkan kehadiran batalyon serbu pantai ini menjadi beban mental.  Karena sejarah Singapura tentu mencatat kisah heroik 2 KKO (Korps Komando Operasi) Indonesia yang menjalankan tugas one way ticket di negeri itu pada masa konfrontasi tahun 60an. Boleh saja kita memahaminya seperti ini: Dengan 2 KKO saja mereka merasa tercabik apalagi dengan 1 batalyon penuh.  KKO yang sekarang bernama Marinir sangat luar biasa perkembangannya.

Indonesia saat ini memiliki dua divisi Marinir dan sedang membangun divisi ketiga di Sorong Papua berkekuatan 15 ribu pasukan berikut alutsistanya.  Persenjataan yang dimiliki pasukan elite angkatan laut saat ini terdiri dari 60 tank amfibi terbaru jenis BMP-3F, ratusan tank dan panser jenis lain seperti PT76, BTR50, BTR80, APC-10, MLRS RM Grad, Howitzer, Rudal QW3, Kapa dan lain-lain.  Belanja alutsista untuk Marinir jalan terus, terakhir dengan memesan 55 tank BTR-4 dari Ukraina.

Sebenarnya kalau Indonesia mau “ngeledek” negeri mungil yang menggemaskan itu itu banyak cara bisa dilakukan, ketika nama Usman Harun dipermasalahkan. Bisa saja nama batalyon 10 Marinir itu dinamai  Yon 10 Mar/Usman Harun atau pangkalan TNI AL di pulau Nipah ditulis besar-besar bernama Lanal Usman Harun.  Kalau mau lebih spektakuler lagi Bandara Hang Nadim Batam diganti namanya menjadi Bandara Usman Harun.

Tapi kita yakin persoalan pemberian nama KRI Usman Harun hanya merupakan rengekan anak kecil yang tak harus disikapi dengan panas hati.  Biar saja dia merengek dan ngambek sampai membatalkan undangan Singapore Air Show untuk petinggi Kemhan dan Panglima TNI yang sudah dia buat sendiri.  Yang rugi dia sendiri karena ajang pameran alutsista itu tentu terkait dengan bisnis senjata dan dunia tahu bahwa Indonesia adalah gadis manis yang sedang dikejar-kejar produsen senjata dunia.
Kapal perang Bremen Class, salah satu yg dilirik TNI AL
Biar saja dia misalnya tak ikut Komodo Naval Exercise di Natuna bulan depan, biarkan saja misalnya dia tak berminat lagi dengan serial latihan Indopura AU dan AL.  Biar saja, kita ikuti saja aliran emosinya tanpa harus menanggapi.  Ini salah satu cara mengajari dia dengan mengedepankan kecerdasan diplomatik berwajah bening. Kita juga mau lihat bagaimana nanti reaksinya ketika Presiden SBY hadir di Batam untuk meresmikan batalyon Marinir 10.  Logikanya karena ini peresmian satuan tempur elite di garis depan yang diresmikan RI-1 tentu akan banyak kapal perang dan jet tempur yang datang di Batam, apalagi ada even latgab Komodo bersama 17 negara lain.

Makanya hari-hari ke depan ini kita ikuti saja jalan cerita “sinetron” Usman Harun tanpa perlu mengepalkan tangan. Kita juga ingin tahu seberapa dalam nilai kekecewaannya terhadap nama Usman Harun itu.  Bisa saja dalam bingkai politik dalam negerinya sebagai pengalihan isu karena negeri itu baru saja dilanda rusuh ekspatriat yang kebetulan sama warna etnisnya dengan Menlu Shanmugam.  Bukankah efek dari rusuh itu membekas di kalangan etnis tertentu disana dan sebagai lem perekatnya dikeluarkanlah pernyataan galaunya sekaligus untuk mengukur kadar kebangsaaan warga Singapura.

Bisa juga karena negeri itu gelisah dengan perkembangan kekuatan ekonomi dan militer Indonesia.  Bagaimanapun negeri kepulauan besar di selatan dan timur negaranya dalam anggapannya punya peluang besar mematikan eksistensinya di masa depan.  Punya puluhan jet tempur canggih tapi ruang udara terbatas, punya 6 kapal selam tetapi perairannya secuil.  Komposisi penduduknya yang lima setengah juta itu 45 persen adalah pendatang.  Ruang pandangnya sangat sempit karena ketika hendak terbang begitu take off sudah harus ke luar negaranya.  Bandingkan dengan dua tetangganya Indonesia dan Malaysia yang menikmati sajian alam raya darat air dan udara yang luas melimpah.

Dalam pandangan kita itulah sejatinya kegelisahan eksistensi psikologis Singapura.  Sebuah negara makmur, sejahtera, semua ada apapun bisa, tapi miskin sumber daya alam dan terbatas ruang gerak dan geliat pernafasan perjalanan berbangsanya.  Maka bersyukurlah kita kepada Allah telah dikarunia tanah air yang luas, subur dan kaya meski penduduknya sebagian belum makmur sejahtera.  Maka bersyukurlah kita punya negara bernama Republik Indonesia yang kadar kebangsaannya membanggakan.  Maka bersyukurlah kita karena pengawal republik sedang digagahperkasakan karena itu bagian dari jawaban agar tidak ada lagi tetangga yang mencoba mendikte.  Maka bersyukurlah kita karena Singapura ngambek dengan nama Usman Harun karena setidaknya kita kembali membuka sejarah heoik keduanya yang membanggakan nilai-nilai kebangsaan kita.
****
Jagvane / 10 Feb 2014