Monday, July 23, 2012

Antara Phnom Penh dan Darwin


Minggu ke dua Juli 2012 ada dua berita kejut yang mampu mengejutkan kualitas diplomasi dan intelijen berbagai pihak.  Yang satu terjadi di ibukota Kamboja, yang satu lagi dari Darwin Australia.  Kejutan diplomatik terjadi di Phnom Penh Kamboja ketika dilangsungkan pertemuan para menlu ASEAN tanggal 8 sampai dengan 13 Juli 2012 membahas konflik Laut Cina Selatan (LCS).  Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah ASEAN yang telah berusia 45 tahun, para Menlu 10 negara yang ber urun rembug gagal mencapai kata sepakat dalam memberikan nilai kebersamaan untuk code of conduct LCS.  Dengan kata lain ASEAN untuk pertama kalinya sepakat untuk tidak sepakat mengenai sebuah tema yang dirundingkan intensif.  Dalam terminologi yang lain ini adalah kemenangan diplomasi Cina yang berhasil “meretakkan” keharmonisan ASEAN yang dikenal santun dan kompak dalam menyikapi berbagai hal di rantau kawasan.

Kejutan diplomasi lainnya adalah keberhasilan Australia untuk mengajak Indonesia membawa jet tempur mutakhirnya Sukhoi SU30 ke Darwin untuk mengikuti latihan gabungan angkatan udara terbesar 6 negara yaitu Australia, AS, Indonesia, Singapura, Thailand dan Selandia Baru.  Latihan ini berlangsung 27 Juli hingga 17 Agustus 2012 melibatkan sedikitnya 94 pesawat dan 2.200 pasukan.  Ini menjadi menarik karena seluruh jet tempur yang dilibatkan dalam serial latihan terbesar yang diberi judul Exercice Pitch Black 12 merupakan jet tempur buatan Barat kecuali Indonesia.  Latihan ini mengambil area di Darwin dan Tindal.  Kecuali tuan rumah dan AS yang mengambil area latihan di Darwin dan Tindal peserta dari negara lain hanya bisa mengakses di Air Force Base Darwin.
Jet tempur kelas berat TNI AU, Sukhoi
Upaya bujuk rayu Australia ini sejatinya telah berlangsung lama.  Mereka pun sempat bertandang ke Air Force Base Sukhoi di Makassar, walaupun latihannya hanya dilayani 1 flight F16 TNI AU beberapa waktu lalu.  Sebenarnya bisa saja Australia mengajak Malaysia yang notabene masih tergabung dalam FPDA untuk membawa Sukhoinya dalam latihan ini.  Tetapi mengapa justru Indonesia yang dibujuk rayu untuk ikut serta, mencerminkan betapa rasa ingin tahu dan penasarannya Australia terhadap alutsista strategis TNI AU itu.  Meskipun begitu kita meyakini kehadiran Sukhoi untuk berperan serta dalam serial latihan itu tentu tidak akan membuka telanjang seluruh kemampuan dan keunggulan yang dimiliki Sukhoi dan pilotnya.  Latihan bareng itu di wilayah permukaan yang selalu dukumandangkan adalah untuk lebih mendekatkan hubungan militer antar negara namun di sisi lain selalu ada upaya intelijen militer mengintip kekuatan dan keunggulan alutsista yang dimiliki peserta latihan itu.

Keberhasilan Australia ini tentu tak terlepas dari kesepakatan diplomasi politik tingkat tinggi dari kedua negara.  Belum lama berselang di Darwin juga terjadi kesepakatan hibah 4 Hercules tipe H dari negeri Kanguru itu kepada Indonesia.  Juga tak lama setelah adanya pemberian grasi kepada narapidana narkoba Corby dan pembebasan tawanan kriminal anak-anak warga Indonesia di negeri itu. Australia sangat berkepentingan dengan pertumbuhan kekuatan militer Indonesia yang sedang giat-giatnya membangun perkuatan alutsista tentaranya.  Lebih dari itu Australia seakan hendak mengatakan kepada Cina bahwa: kami sangat berkepentingan dengan posisi strategis Indonesia yang memegang kendali teritori LCS dari wilayah selatan, posisi dimana militer AS dan Australia akan menggunakan dalam skala penuh jika terjadi konflik militer dengan Cina.

Sementara itu Cina dianggap berhasil mencuri perhatian diplomasi dan intelijen dengan keberhasilannnya mengobok-obok ASEAN di Kamboja.  Keberhasilan ini tentu  tidak terlepas dari upaya politik dan intelijen Cina dengan memberi “asupan gizi” untuk sahabat tradisionalnya Kamboja yang memang sudah menjadi sekutu dekatnya. Kamboja banyak menerima bantuan ekonomi dari Cina untuk pembangunan infrastruktur, telekomunikasi dan teknologi.  Dengan kucuran dana besar dari Cina dan tekanan politik yang menyertainya, Kamboja yang saat ini menjadi Ketua ASEAN akhirnya tak mampu memberikan kekuatan persahabatan pada kebersamaan ASEAN, karena sudah berhutang budi dengan Cina.  Pertemuan para Menlu ASEAN yang gagal mencapai komunike bersama itu menjadi pusat pemberitaan yang hangat di seluruh dunia dan menganggap ASEAN sudah terkotak berdasarkan blok pengaruh.
Latihan gabungan TNI AL dan AL Australia, Kupang-Darwin
Secara historis 10 negara ASEAN memang bertolak belakang dalam haluan dan cerita sejarahnya.  Pendiri ASEAN, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura pada saat deklarasi ASEAN merupakan kumpulan negara yang ada dalam pengaruh Barat dalam pembangunan ekonominya.  Ini beda dengan kawasan Indocina yang bergabung belakangan setelah usai perang Indocina tahun 1975.  Karakter politik Vietnam, Kamboja dan Laos berbeda karena mereka berhasil mengalahkan pengaruh Barat dalam perang yang berkepanjangan itu. Kedekatan Kamboja dengan Cina memberikan dampak ketika klaim Cina terhadap LCS dan perkembangan militernya mengharuskan Kamboja menanggalkan kesetiaan kebersamaan ASEAN sehingga ini dianggap sebagai menjual  harga diri untuk sebuah sebutan politik balas budi kepada Cina.

Kawasan ASEAN saat ini secara nyata telah diajak untuk memilih dua jalan yang saling merenggangkan satu sama lain. AS melakukan langkah progresif dengan menempatkan kapal tempurnya di Singapura.  Vietnam pun dibujuk agar bersedia memberikan akses militer untuk AS di teluk Cam Ranh.  Demikian juga dengan Thailand, AS berkeinginan memanfaatkan pangkalan udara U Tapao di Thailand untuk kepentingan militernya.  Filipina jelas berada dalam payung militer AS. Malaysia yang termasuk keluarga FPDA bersama Australia dan Inggris punya klaim dengan Cina sudah tentu berada dalam satu paduan suara dengan Vietnam, Filipina dan Brunai, sama-sama menentang Cina.

Satu-satunya negara ASEAN yang masih mampu berada dalam persahabatan ke semua arah adalah Indonesia meski secara jelas kita bisa memahami bahwa telah terjadi rebutan pengaruh antara AS dan Cina untuk merangkul Indonesia.  Militer Cina dan  Indonesia baru-baru ini melakukan latihan bersama pasukan khusus ber tajuk “Sharp Knife II/2012” di Jinan Shandong Cina selama dua minggu. Cina pun berbaik hati dengan memberikan akses bagi pilot-pilot Sukhoi  TNI AU untuk berlatih dengan menggunakan simulator Sukhoi di Cina.  Tak lama kemudian giliran Australia yang sukses mengundang Indonesia untuk partisipasi di Pitch Black Darwin, tentu dengan upaya diplomasi tingkat tinggi.

Saling berebut pengaruh antara Cina dan AS tentu akan merepotkan kelangsungan perjalanan ASEAN.  Oleh karena itu peran diplomasi yang diprakarsai Indonesia untuk menyamakan langkah bagi semua anggota ASEAN merupakan pekerjaan diplomatik yang menguras energi dan stamina.  Langkah yang dilakukan Menlu Marty Natalegawa yang melakukan safari kunjungan ke negara anggota ASEAN sejauh ini menghasilkan konsensus untuk kembali ke ”jalan yang benar”.  Namun ke depan situasi keretakan itu diniscayakan akan berulang kembali karena langkah progresif AS yang overdosis akan dibalas dengan agresivitas kehadiran kapal perang Cina di LCS dan langkah diplomasi bertajuk kerjasama ekonomi dan kerjasama pertahanan dengan beberapa negara ASEAN. 

Sekedar test case Cina juga sudah mampu menjalankan politik gertak ekonomi dengan Filipina karena terus menerus berteriak dengan kehadiran kapal-kapal perang Cina di LCS.  Cina mengurangi impor beberapa komoditi holtikultura  dari Filipina dan mengurangi jumlah wisatawannya berkunjung ke Filipina.  Nah ketika sebuah fregat Cina melintas di kawasan yang disengketakan dengan Filipina awal Juli ini dan sempat karam katanya, Filipina tidak lagi berteriak keras. Alamak, macam mana pula itu.

****
Jagvane/ 23 Juli 2012