Monday, May 14, 2012

Membaca Pergerakan Militer di LCS

Kondisi di Laut Cina Selatan (LCS) setahun belakangan ini menjadi catatan stabilo merah bagi hampir semua negara ASEAN. Hal itu disebabkan oleh makin benderangnya kehadiran kapal-kapal angkatan laut Cina baik yang memakai kamuflase kapal niaga atau kapal nelayan maupun jelas-jelas postur kapal perang.  Sangat diyakini jua bahwa beberapa kapal selam Cina dan AS melakukan patroli bawah laut dan melakukan operasi intelijen di perairan strategis dan kaya itu.

Cina sudah lebih dari duapuluh tahun lalu mengumumkan peta lidah naga, bahwa kawasan LCS merupakan wilayah teritorinya sejak jaman sebelum masehi.  Namun selama waktu itu tidak ada gesekan militer karena wajah Cina masih imut-imut alias malu-malu kucing alias tahu diri karena kemampuan militernya belum setaraf ofensif.  Kekuatan militer Cina yang mulai tumbuh taring dan semburan naganya beberapa tahun terakhir ini merupakan cikal bakal terjadinya ketidaknyamanan memandang peta LCS dengan banyaknya pergerakan militer berbagai negara.

Itu sebabnya mengapa AS tidak membolehkan situasi ini menjadi tanpa payung sehingga diperlukan pergeseran kekuatan militer ke kawasan Asia Tenggara.  Memang jika dikumpulkan seluruh kekuatan militer ASEAN belum mampu mengimbangi kekuatan milter Cina yang tahun 2020 nanti menjelma menjadi sosok naga yang siap menghamburkan api dan panas konflik, setidak-tidaknya untuk menakut-nakuti. Padahal diantara 10 negara ASEAN ada juga yang pro Cina seperti Myanmar, Laos dan Kamboja yang juga tak punya konflik teritori di LCS.
Kawasan LCS yang menjadi pusat pergerakan militer

Sejatinya kepentingan AS terhadap LCS bukanlah sekedar membendung laju militer Cina yang mengancam hegemoninya.  Tetapi karena keinginan yang kuat untuk menjaga potensi sumber daya fosil yang terkandung didalam LCS tetap dalam kontrol dan kondisi status quo.  Situasi ini dalam jangka panjang merupakan peluang bagi AS untuk bisa mengeksplorasi dan mengekspolitasi sesuai pengaruh kekuatan politiknya, setidaknya oleh perusahaan minyaknya.  Tidak dapat dibantah masa depan sumber daya energi fosil akan menjadi pusat perebutan kekuasaan negara-negara besar.

Indonesia sebagai pemilik teritori terbesar di kawasan Asia Tenggara dan berkepentingan di LCS tentu tidak ingin kawasan LCS menjadi pusat konflik.  Indonesia bersahabat baik dengan AS juga dengan Cina. Posisi ini mestinya dipandang menjadi sebuah keunggulan posisi jika RI mampu menjalankan diplomasi optimal untuk meyakinkan kedua seteru AS dan Cina untuk bersepaham tidak menggunakan kacamata militer dalam menyelesaikan klaim teritori LCS.  AS tak punya klaim teritori di LCS, hanya saja ada negara-negara ASEAN yang butuh pertolongan negara adidaya itu misalnya Filipina.  Dan inilah pintu masuk menjaga status quo itu.

Kemampuan diplomasi RI di era Ali Alatas sebagai Menlu, yang mampu mendamaikan pertikaian perang saudara di Kamboja, awalnya dianggap sebuah kerja sia-sia oleh banyak pengamat dan negara Barat.  Namun dengan beberapa tahapan informal meeting, situasi keras yang ditampilkan kedua seteru di Kamboja bisa mencair dan bahkan berdamai abadi sebagaimana yang dapat kita saksikan sekarang.  Ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan dan diakui dunia manakala RI berhasil menjalankan misi diplomatik mendamaikan pertikaian di Kamboja. Begitu hormatnya Kamboja kepada RI salah satunya dengan mengirimkan pasukan khususnya untuk dilatih dan dididik oleh Kopassus.  Padahal mestinya dia berkiblat ke Cina untuk urusan militernya.

Mencermati dinamika LCS, yang terjadi sekarang adalah saling berebut pengaruh untuk membawa RI masuk ke dalam blok AC ( Amerika atau Cina).  Misalnya tiba-tiba saja ada rencana latihan militer bersama angkatan laut segitiga RI-AS-Australia di pantai barat Sumatera tahun depan.  Sementara Singapura langsung oke saja ketika 4 kapal perang AS ditempatkan disana secara permanen.  Filipina berteriak lantang minta bantuan militer kepada induk semangnya AS karena Paman Panda mulai pamer kekuatan di posisi klaim tumpang tindih itu.  Persoalannya adalah bagaimana cara membujuk Cina yang kaku itu atau mungkinkah arogansi sosok Paman Sam bisa diajak untuk mendinginkan suhu lalu duduk sama rendah berdiri sama tinggi di ruang dialog.

Jalan dialog adalah harapan paling asa yang disandangkan jika tidak ingin halaman depan rumah kita di LCS menjadi ajang adu kuat berbaju militer. Langkah ini diyakini pada awalnya akan sangat sulit, berliku dan hampir mustahil membuahkan hasil.  Tetapi dengan keyakinan kuat sebagai negara yang bersahabat baik dengan AS dan Cina langkah-langkah panjang dan melelahkan tadi diniscayakan akan membawa hasil.  Peran Indonesia sangat menentukan karena posisi gaulnya yang lebih dinamis dan merdeka.  Untuk urusan diplomasi ini memang diperlukan figur setara Ali Alatas yang mampu melewati berbagai rintangan dan selalu memberikan inspirasi bagi pola diplomasi RI.

Disamping upaya diplomasi tentu perkuatan militer kita tidak boleh diabaikan.  Itu sebabnya program Minimum Essential Force (MEF) tahap I harus disambung dengan MEF tahap II meski terjadi pergantian pucuk pimpinan negara tahun 2014. Kita tidak boleh lagi setengah hati membangun kekuatan militer karena ini akan menjadi kekuatan pendamping upaya diplomasi. Kesinambungan perkuatan militer merupakan satu kebutuhan karena di sekeliling kita perkuatan yang sama juga dilakukan.

Pergerakan militer di LCS merupakan upaya unjuk kekuatan.  Upaya ini akan terus menjadi gerakan berbalas pantun.  Cina kerahkan armada pasti akan dibalas oleh Vietnam, Malaysia dan Filipina.  Demikian juga dengan AS tentu tak mau kehilangan kuku militernya dengan menggerakkan kapal induknya.  Kondisi ini akan terus menerus terjadi dan bukan tidak mungkin akan terjadi insiden yang menyulut pertempuran laut.  

Inisiatif yang diambil Indonesia untuk melakukan jalan dialog dengan tahapan awal berupa dialog informal merupakan langkah tepat.  Upaya ini tentu tidak langsung membuahkan hasil.  Masih diperlukan langkah bertahun-tahun dan melelahkan untuk menemukan solusi paling tepat bagi semua negara yang bersengketa.  Kekakuan Cina dan arogansi AS bisa saja luruh dan mencair manakala upaya tanpa mengenal lelah itu telah menembus matahati mereka.

*****
Jagvane / 14 Mei 2012