Monday, September 26, 2011

Dilema Pengadaan Jet Tempur F16

Khalayak ramai sejatinya sudah sangat berharap kedatangan jet tempur paling favorit di dunia saat ini, Fighting Falcon F16.  Yang diharap tentu saja yang ramai dibicarakan yaitu hibah 30 F16 blok 25 second yang akan diupgrade menjadi blok 32.  TNI AU sebagai user sudah  pun mempersiapkan pangkalan baru bagi home base jet tempur ini sekalian mempersiapkan pilot-pilotnya untuk mengawaki  elang petempur itu. Kalau barangnya jadi datang, ini merupakan paket pembelian terbesar dalam pengadaan jet tempur TNI AU selama 3 dekade.

Jet Tempur F16 TNI AU 
Namun ketika semua tahapan dilalui mulai dari kesediaan Pemerintah AS menawarkan program hibah F16 kepada Indonesia dengan kunjungan Presiden Obama 9 Nop 2009, kemudian ada kunjungan Komisi I DPR ke AS untuk lihat barang yang akan dihibahkan itu, kemudian dilakukan lobby-lobby intensif diantara kedua negara dan juga parlemennya, lalu Kongres AS menyetujuinya medio Agustus 2011, tiba-tiba dalam dua kali rapat antara Pemerintah dan DPR Senin (19/09) dan Rabu (21/9), perbedaan pandangan diantara keduanya menajam.  Lalu berita mengejutkan datang hari Sabtu (24/9) Kemenhan dengan persetujuan Komisi I telah memutuskan membeli 6 jet tempur gress F16 blok 52 dengan anggaran US$ 430 juta.  Terus untuk yang 30 F16 second bagaimana dong.

Kita melihat cerita perjalanan proses pengadaan jet tempur F16 second ini sebagai sebuah antiklimaks. Lihat saja proses awalnya, disiapkan anggaran untuk pembelian 6 jet tempur baru F16 blok 52 tahun 2010, lalu ada tawaran dari Pemerintah AS untuk menghibahkan 30 F16 blok 25 kepada Indonesia, hal yang sama dilakukan Pemerintah AS kepada Thailand dengan menghibahkan puluhah F16 secondnya untuk kemudian di upgrade.  TNI AU lebih memilih hibah 30 F16 dengan pertimbangan luas wilayah coverage udara RI yang harus diawasi dengan patroli udara.  Lagi pula dengan upgrade ke blok 32,  jet tempur F16 dinilai sangat layak  mengawal teritori udara RI.  Sekadar catatan 10 F16 yang dimiliki TNI AU saat in adalah dari blok 15 OCU yang kemampuannya jauh dibawah blok 32.

Ketidaksepahaman antara DPR dengan Kemenhan tentang hibah ini menurut pandangan kita adalah sebuah kemunduran dari sebuah langkah yang sudah diamini keduabelah pihak pada awalnya.  Menjadi ironi ketika semua tahapan krusial seperti persetujuan Kongres AS sudah dilalui tetapi tiba-tiba berselisih sendiri oleh sebab-sebab teknis  yang mestinya bisa didiskusikan dengan sikap jernih dan transparan.  Kalau kalangan komisi I DPR beranggapan bahwa dengan 6 jet tempur anyar dari F16 blok 52 bisa memberikan efek gentar, tidak jua bisa disebut demikian.  Apa yang bisa dilakukan dengan 6 biji jet tempur itu untuk mengawal wilayah udara RI yang seluas Eropa itu, apalagi jika membandingkan dengan kekuatan 60 F16 blok 52 yang dimiliki Singapura.  Jika sudut pandang itu yang dipakai maka mestinya dibeli saja sebanyak minimal 1 skuadron (16 unit) F16 blok 52.

Pilihan TNI AU pada opsi hibah 30 F16 second karena sejatinya TNI AU tahu diri dengan keterbatasan anggaran.  Kalau minta duit sebesar US $ 1,4 Milyar untuk beli 16 jet tempur gress F16 blok 52 jelas berat diongkos, begitu pertimbangannya, maka untuk sementara cukuplah kuota anggarannya berkisar US$ 450 juta.  Ya karena TNI AU juga masih harus mendatangkan Super Tucano, Golden Eagle dan Sukhoi untuk melengkapi skuadronnya yang grounded karena ketuaan pesawat.  TNI AU sebagai user sudah sangat familiar dengan F16 bahkan sudah memiliki simulator di pangkalan Iswahyudi.  Kuantitas F16 diperlukan dalam jumlah banyak mengingat dinamika kondisi kawasan, konflik perbatasan, sehingga kehadiran armada F16 dalam jumlah yang memadai diperlukan untuk mengawal kewibawaan teritori udara kita.  Ongkos terbang F16 juga jauh lebih murah dibanding Sukhoi karena Sukhoi memang dipersiapkan untuk pertarungan berat dan panjang sesuai jarak jelajahnya dan kemampuan manuvernya.  Nah dalam kondisi damai namun tetap waspada seperti sekarang ini yang perlu tampil dalam patroli udara sangat pantas dibebankan pada F16.

Dalam bingkai yang sama kita juga berharap pada  Kemenhan dan TNI agar ketika sudah memilih opsi pengadaan 30 F16 second itu mestinya diperjelas tentang penggunaan anggaran yang sesungguhnya dan jadwal kedatangan bertahap F16 second itu.  Soalnya beberapa statemen yang disampaikan ke publik  berbeda satu sama lain, ada yang bilang sebelum April 2012 menjelang hari bhakti TNI AU minimal sudah datang 4 unit tapi ada juga yang katakan baru datang tahun 2014 sebanyak 4 unit sebagaimana yang dikritisi oleh anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi.  Kalau beli second saja durasi kedatangannya baru tahun 2014 mending beli baru saja.  Bukankah pilihan beli yang second itu juga berkaitan dengan waktu kedatangannya yang lebih cepat, begitu gambaran politisi muda Partai Golkar ini.

Dalam konteks ini kita ingin menggarisbawahi bahwa sesungguhnya mayoritas rakyat Indonesia sangat menginginkan perkuatan TNI di segala matra.  Sudah saatnya kita mempunyai alutsista yang setara dengan yang dipunyai negara sekeliling kita.  Ini tentu sebuah kado yang menggembirakan bagi Kemenhan dan TNI untuk mempergunakan uang rakyatnya bagi pengadaan alutsista yang modern.  Sudah ada kesamaan sikap antara DPR dan Pemerintah mengucurkan dana alutsista sebesar 100 trilyun rupiah dengan opsi tambahan 50 trilyun lagi untuk masa 2010-2014.  Bukankah ini momentum yang membahagiakan karena selama ini kita miris dengan gelar alutsista TNI, jauh dari kesan gagah perkasa malah cenderung menjadi gagah gemulai karena kualitas arsenalnya  jadi bahan tertawaan.

Oleh sebab itu kita berharap pengadaan 30 F16 second itu tidak berhenti begitu saja.  TNI AU sebagai user tentu yang paling tahu dengan kondisi F16 second itu karena pengawal dirgantara ini sudah sangat paham dengan anatomi F16 segala blok. Kita meyakini bahwa pilihan F16 second itu dilakukan TNI AU sebagai jembatan ketersediaan armada jet menjelang kehadiran jet tempur KFX tahun 2020 karena F16 second ini masih dapat digunakan sampai 12 tahun ke depan.  Meskipun begitu Kemenhan dan TNI diharapkan lebih membuka diri  pada mitra legislatifnya DPR tentang kajian teknis, teknologi, pola bayar up grade, jangka waktu kedatangan, keterlibatan industri hankam dalam negeri PT DI.  DPR sebagai wakil rakyat negeri ini tentu membawa misi mempertangungjawabkan penggunaan anggaran yang besar itu.  Argumen-argumen yang disampaikan oleh Komisi I DPR setidaknya membuka mata kita bahwa masih diperlukan ruang komunikasi untuk bisa mempersamakan persepsi.  Kita hargai posisi argumentasi Komisi I DPR sembari ingin menyampaikan pesan: Sebagai rakyat kita sangat menginginkan 30 F16 second itu, syukur-syukur dapat dua sekaligus, 6 jet tempur gress F16 blok 52  beserta 30 F16 blok 32 upgrade.  Siapa tahu kan ?
*******
Jagvane / 26 Sept 2011