Sunday, August 14, 2011

Jangan Under Estimate Dengan Postur TNI

Paskhas TNI AU dalam sebuah defile
Ketika dalam sebuah tulisan terdahulu kita mencoba mengangkat analisis yang diterbitkan Global Fire Power tentang ranking kekuatan militer dunia based on ke 45 faktor supportingnya, lalu menempatkan kekuatan milier Indonesia di urutan ke 18, banyak orang berpendapat tidak sependapat. Padahal kalau mau dibedah lebih jauh apa yang dipublikasikan GFP merupakan analisis data yang obyektif, terukur dan historis mulai dari kekuatan populasi, kekuatan pasukan, kekuatan cadangan, kekuatan alutsista, kekuatan finansial, kekuatan daya beli, kekuatan cadangan devisa, kekuatan demografi, kekuatan cadangan energi, kekuatan angkatan kerja.

Definisi yang berlaku selama ini adalah kekuatan militer sama dengan kekuatan jumlah pasukan dan alutsista.  Lalu kekuatan alutsista sama dengan kekuatan pesawat tempur, pesawat pembom, destroyer, fregat, korvet, kapal selam, rudal, tank.  Padahal dukungan untuk sebuah operasi tempur militer pasti ada dukungan logistik, zeni, angkutan, bbm, sebaran pangkalan, satuan radar, intelijen, daya juang, karakter bangsa, daya tahan, militansi, pasukan cadangan.  Untuk kriteria alutsista postur TNI sedang menuju kekuatan MEF, artinya TNI masih harus membenahi kuantitas dan kualitas alutsistanya tetapi untuk urusan unjuk kualitas pasukan, daya tahan, semangat juang, patriotik, TNI jangan dianggap enteng.

Sayangnya yang sering dipublikasikan dan diopinikan adalah kekurangan demi kekurangan, mulai dari kurang anggaran sampai akhirnya kurang siap bertempur, kurang siap melakukan operasi militer.  Jadi yang ada pada benak sebagian masyarakat adalah kekurangyakinan pada postur TNI.  Padahal ketika dilakukan operasi militer di perairan Somalia untuk membebaskan Sinar Kudus yang jauhnya ribuan kilometer, kita sukses.  Yang istimewa dalam operasi militer ini adalah armada KRI memasuki perairan teritori Somalia, ini tidak pernah dilakukan negara lain termasuk AS.  TNI mengirim 3 KRI masing-masing 2 fregat dan 1 LPD.  Kapal LPD ini memuat sedikitnya  tank amphibi 4 BMP3F, 8 LVT, 2 Howitzer, 1 batalyon pasukan gabungan TNI.  Mereka siap melakukan operasi amphibi terbatas untuk menghancurkan pusat kejahatan perompakan di pantai Somalia.  Ini yang tidak ada dalam skenario operasi pembebasan sandera oleh negara lain, bahkan pemerintah Somalia sudah memberikan lampu hijau kepada Indonesia untuk melakukan operasi penyerangan pantai.

Contoh lain, misal terjadi konflik dengan Malaysia dan mereka melakukan serangan pendahuluan dari KL menerbangkan 12 Sukhoi,  4 F18 Hornet dan 8 Mig 29 (sekedar catatan: dalam setiap serangan maksimal dua pertiga kekuatan yang dapat diterjunkan ke medan tempur, sisanya ready di pangkalan atau sedang dalam perbaikan). Armada ini mau dimana kemana, ke Jakarta saja atau ke beberapa kota. Andai hanya ke Jakarta pertanyaannya apakah kemudian Jakarta akan hancur dengan serangan  22 pesawat tempur Malaysia itu.  Jelas tidak dong, kalau tercubit atau terluka iya.  Nah kalau sudah tercubit atau terluka pasti akan ada counter attack.  Karakter bangsa kita adalah kalau sampai tercubit bahkan hanya terhina pun, serangan balasannya akan mampu menjerakan negeri jiran itu.

Jangan lupa, seandainya ibukota sampai terluka atau lumpuh, kan masih banyak kota-kota besar lainnya yang eksis, ada Medan, Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, Balikpapan, Makassar, Ambon, Jayapura, Denpasar, Padang dan lain-lain yang siap mengambil alih komando darurat perang.  Ingat jaman perang kemerdekaan dulu, Jakarta diduduki Belanda, ibukota pindah ke Yogya.  Yogya diserbu, Presiden Soekarno ditangkap, pusat pemerintahan darurat diambilalih Bukittinggi Sumbar. Sekarang bisa saja komando kewilayahan (Kodam) yang ada di Kalimantan langsung mengadakan penyusupan dan sabotase di Sarawak dan Sabah sementara yang di Sumatera melakukan hal yang sama merembes ke Semenanjung pakai pola infilitrasi model TKI ilegal.  Ini baru salah atu pola serangan balik, masih banyak pola lainnya misalnya serangan udara balasan, pendaratan amphibi dan serangan darat frontal di Serawak, misalnya.

Ketika GFP menyajikan data bahwa kekuatan  Air Power Indonesia berada diatas Singapura, banyak yang mentertawakan.  Air Power menurut GFP terdiri dari jumlah Aircraft (gabungan pesawat militer dan sipil), Helikopter dan Lanud dimana Indonesia memiliki 510 pesawat udara, 168 helikopter dan ratusan Lanud  sementara Singapura punya 422 pesawat udara, 100 helikopter dan 8 Lanud.  Memang dari 422 pesawat yang dimiliki Singapura itu hampir 150 unit adalah pesawat tempur modern  sementara jumlah pesawat tempur RI saat ini baru mencapai 70an.  Meski jumlah pesawat tempur Singapura jauh diatas Indonesia namun dalam strategi militer negara itu tak akan mampu mengalahkan Indonesia. Itu sebabnya segede apapun alutsista yang dimiliki oleh Singapura, negara itu bukan ancaman bagi Indonesia.

Singapura dapat melakukan pre emptive strike ke Jakarta atau kota-kota lainnya, tapi setelah itu dia akan merasakan akibat fatalnya. Karena Singapura negara jasa, sangat mudah memberikan terapi kejut bagi negeri ini.  Misal stop kunjungan wisatawan dari RI, ciptakan suasana tidak tenang, lakukan sabotase, sebar virus mematikan, atau serangan rudal dari Batam. Negara yang sejahtera dan makmur seperti Singapura tentu tak ingin bermain api dengan Indonesia kalau tak ingin eksitensinya menjadi basah kuyup dan pucat pasi.  Orang Singapura lebih senang dengan kondisi status quo, tidak ingin mengganggu tapi jangan sampai diganggu, mirip sarang lebah.

Memang jalan terbaik adalah tidak ada konflik dengan jiran regional apalagi sampai terjadi perang terbuka.  Namun filosofi lama masih tetap berlaku bahwa kita cinta damai tetapi jalan perang bukan sesuatu yang mustahil manakala kehormatan dan harga diri bangsa dilecehkan, diremehkan.  Itu yang tak bisa kita terima.  Pada dasarnya kita selalu menghormati hubungan pertetanggaan dengan semangat toleransi, saling menghargai dan low profile.  Namun wajah low profile ini sering disalahartikan sebagai ketidakmampuan menjaga kewibawaan, ketidakmampuan mensetarakan diri dalam berdiplomasi.  Ini yang sering menjadikan 2 jiran sebelah Malaysia dan Singapura pongah dan merasa dia bisa mendikte republik ini. 

Singapura bisa dengan seenaknya sendiri “memelihara” koruptor Indonesia yang lari dan bermukim disana bersama uang haramnya dengan alasan tak ada perjanjian ekstradisi.  Tapi dia lupa bahwa hubungan bertetangga itu yang lebih penting adalah menjaga perasaan tetangganya dari sekedar sebuah perjanjian ekstradisi.  Contoh terkini lihat saja Kolombia, tak ada perjanjian ekstradisi dengan RI namun pemerintahnya mampu menunjukkan pola kerjasama mengatasi kejahatan lintas negara, mengembalikan seorang buron paling dicari  Nazaruddin di deportasi ke Indonesia.  Terimakasih Kolombia.

Malaysia  sebagai orang kaya baru (kata dia) merasa sudah lebih makmur dengan Indonesia, perilakunya mirip-mirip dengan Singapura.  Mungkin dia, terutama generasi mudanya selalu melihat wajah Indonesia dalam kesehariannya adalah wajah TKI yang ada di rutinitas benak mereka, sebagai wajah bangsa kelas dua.  Cermin ini yang menjadikan cara pandang mereka terhadap jirannya menjadi seperti kacamata kuda, tidak mampu melihat sejarah masuknya TKI ke sana justru untuk membantu perkuatan populasi etnis Melayu menghadapi populasi etnis Cina sekitar tahun 70an.

Terhadap semua cara pandang dan sudut pandang yang dipertontonkan jiran kita itu, salah satu jalan yang harus dipersiapkan adalah perkuatan postur TNI disamping pembangunan ekonomi yang sudah menunjukkan ketahanan ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.  Cadangan devisa sudah mencapai US$ 122 Milyar, pendapatan perkapita ada di kisaran US$3.000, anggota G20, inflasi terkendali, bursa saham menunjukkan kinerja tahan uji, demikian juga rupiah kecenderungannya menguat terhadap Dollar AS.

Sudah saatnya kita merawat dan membesarkan anak kandung kita ini karena TNI adalah pengawal eksistensi kita, eksistensi republik ini.  Menjaga keutuhan NKRI salah satunya adalah menumpas unsur separatis yang mencoba untuk memisahkan diri.  Jangan lagi ada pandangan bahwa TNI harus mengedepankan dialog dalam menghadapi separatis.  Tugas TNI adalah menghancurkan separatis terutama yang mengajak tarung dengan senjatanya.  Tugas Pemerintah adalah melakukan pendekatan kesejahteraan dan dialog dalam kerangka NKRI.  Keutuhan NKRI adalah tugas konstitusi TNI, menjaga rangkaian pulau dari Sabang sampai Merauke sebagai warisan peninggalan jajahan Belanda. Itu sudah takdir sejarah final yang diakui oleh PBB.

Kita berharap di tahun 2014 nanti, postur TNI sudah menunjukkan kekuatan alutsista yang bertaring terutama kekuatan pukulnya.  Dan tentu tidak berhenti sampai disitu saja, terus melakukan perkuatan menembus kriteria menggentarkan.  Namun yang lebih penting dari semua itu adalah membalikkan semua cara pandang under estimate terhadap postur TNI.  Dalam kondisi belum MEF pun TNI mampu melakukan pengawalan permanen terhadap Ambalat, menjaga pulau-pulau terluar, mengirim armada laut ke perairan Somalia, berperan aktif sebagai pasukan perdamaian PBB, mengirim kapal perang ke Libanon untuk misi PBB, unggul dalam setiap kejuaraan militer antar negara, memiliki pasukan khusus yang disegani negara lain, tampil terdepan dalam setiap operasi penanggulangan bencana alam, dan lain-lain. 

Apakah ini bukan sebuah nilai, bukan sebuah prestasi, bukan sebuah kebanggaan.  Mestinya kita berterimakasih pada  anak kandung kita ini yang selalu mengedepankan kegigihan dalam setiap tugasnya, demi menjaga kehormatan, nama baik dan kewibawaan negeri kepulauan khatulistiwa nan indah ini.  Tidak salah jua sembari mengucapkan selamat hari ulang tahun ke 66 untuk negeri raya ini, rasa hormat dan bangga kita bingkiskan pada pengawal republik.  Bahwa ulang tahun kemerdekaan ini adalah bagian dari darma bakti sosok TNI selama ini yang menjadikan eksistensimu tetap tegar geliat sampai saat ini, duhai Republik Indonesia.

*****
Jagvane ( 14 Agustus  2011)
Dirgahayu Republik Indonesia