Wednesday, July 27, 2011

Manuver 12 Kapal Selam RI Memaksa Belanda Angkat Kaki dari Papua

Kapal Selam Indonesia KRI Cakra 401
Armada kapal selam RI yang tergabung dalam operasi Jayawijaya untuk mengambil paksa Papua yang dikuasai Belanda tahun 1962, memberikan andil besar dan menjadi kekuatan penggentar utama ciutnya nyali tempur Belanda.  Dimulai dengan kedatangan dua kapal selam pertama RI dari Rusia via Polandia tiba tanggal 12 September 1959 dari kelas Whiskey yaitu KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 403.  Waktu itu istilah KRI masih disebut dengan RI.  Berikutnya datang lagi 4 kapal selam pada bulan Januari 1962  masih dari kelas yang sama, yaitu KRI  Nagabanda 407, KRI Trisula 402, KRI Candrasa 408 dan KRI Nagarangsang 404. 

Kloter terakhir berupa 6 kapal selam diterima bulan Desember 1962 yaitu KRI  Wijayadanu 409, KRI Hendrajala 405, KRI Bramastra 412, KRI Pasopati 410,  KRI Cundamani 411 dan KRI Alugoro 406.  Enam kapal selam yang terakhir ini sebenarnya berangkat dari Vladivostok Rusia bulan Juli 1962 namun ketika sampai di perairan laut Sulawesi diperintahkan langsung ke perairan Papua via Morotai dan langsung diawaki oleh pelaut Rusia.  Awaknya sendiri dari TNI AL sebenarnya sudah ikut pelatihan awak kapal selam di Vladivostok, dan pulang ke Surabaya naik kapal penumpang.  Itu sebabnya penyerahan 6 kapal selam ini baru dilakukan Desember 1962 di Surabaya ketika konflik Trikora sudah selesai.

Mengapa demikian, karena Komando Mandala sedang mempersiapkan operasi gabungan amphibi untuk menyerbu Biak pada bulan Juli 1962 dengan target tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih sudah bisa dikibarkan di bumi Papua.  Begitu instruksi Presiden Soekarno pada Mayjen Soeharto selaku Panglima Mandala.  Jauh hari sebelum hari H itu, manuver kapal selam RI membuat armada kapal perang Belanda berdebar kencang karena Whiskey Class itu seperti hantu laut, terasa ada terdengar tidak apalagi terlihat.

Operasi kapal selam RI yang penuh rahasia sangat mengkhawatirkan armada Belanda yang menjaga perairan Papua. Belanda memang unggul dalam informasi elektronika dan informasi intelijen dalam konflik ini, namun tak berdaya menghadapi manuver armada kapal selam RI.  Mirip sosok monster yang setiap saat muncul menembakkan torpedo mautnya yang paling modern pada saat itu. Armada kapal selam RI berperan besar dalam menyusupkan pasukan TNI ke daratan Papua. Salah satunya operasi penyusupan pasukan komando RPKAD melalui kapal selam  KRI Tjandrasa berhasil mendaratkan 15 pasukan komando RI di teluk Tanah Merah Papua pertengahan Agustus 1962.

Belanda sejatinya masih mengharapkan bantuan dari AS dan Australia dalam mempertahankan eksistensinya di tanah Papua jika terjadi perang terbuka dengan Indonesia. Namun berdasarkan informasi intelijen yang dilakukan Armada ke 7 AS yang berpangkalan di Teluk Subic Filipina, konflik terbuka antara Indonesia versus Belanda akan mempermalukan bangsa Eropa / Barat karena sangat memungkinkan Indonesia (sebagai bangsa Asia) akan memenangkan pertarungan paling berdarah ini, jika terjadi.

Pada saat yang sama AS juga sedang bergumul di Perang Vietnam, tentu AS tidak mau membuka front kedua membantu Belanda sebagai sekutunya selama ini. Hasil pemantauan berupa gambar sangat mencengangkan AS bahwa Indonesia sedang mempersiapkan penyerbuan besar-besaran ke Biak.  Setidaknya di Teluk Peleng (Sulawesi) telah bersiap hampir seratus kapal perang RI baik combatan, angkut pasukan, logistik dan tanker.  Sementara seratusan pesawat tempur Mig 15, Mig 17, Mig 19, Mig 21 serta pesawat pembom Il-28 dan Tu-16 sudah stand by di pangkalan Madiun, Makassar, Manado, Morotai, Ambon, Tual.  Dari semua kekuatan taring yang dimiliki RI saat itu, kekuatan 12 kapal selam yang lalu lalang di perairan utara Papua  sejak  Mei sampai dengan Agustus 1962 merupakan pusat kegentaran armada Belanda yang dipimpin kapal induk Karel Doorman.

Kekuatan armada kapal selam RI yang dipusatkan di teluk Kupa-Kupa Maluku Utara merupakan satuan pemukul strategis yang berada diluar konvoy kapal perang RI.  Satuan ini bergerak lebih dulu, siluman, mencari dan menemukan kemudian menembakkan torpedo paling canggih saat itu SAET-50 homing torpedo pada setiap kapal perang Belanda yang ditemui mereka. Armada kapal perang Belanda tidak mampu mendeteksi kehadiran Whiskey Class RI karena kesenyapannya berdiam diri di kedalaman 150 meter berhari-hari. 

Waktu berjalan terus, persiapan perang terbuka semakin intensif, hari H penyerbuan telah ditetapkan 12 Agustus 1962, manuver kapal selam RI semakin giat melakukan operasi pengintaian terhadap target. Penyusupan pasukan melalui udara semakin sering dilakukan sebagai bagian dari mata dan telinga di kantong musuh pada saat penyerbuan nanti.

Kegentaran Belanda dengan situasi kritis ini dan statemen Presiden John F. Kennedy agar Belanda segera meninggalkan Papua memberikan angin segar bagi diplomasi RI yang dipimpin Adam Malik.  Beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus 1962 Belanda bersetuju dengan gencatan senjata yang diberi sandi Awan Terang.  Oleh Pemerintah RI gencatan senjata resmi diberlakukan tanggal 18 Agustus  1962 namun Komando Mandala baru memperlakukan Awan Terang tanggal 25 Agustus 1962. Sejarah kemudian mencatat Papua diserahkan ke Indonesia  melalui PBB yang disebut UNTEA (United Nation Temporary Execution Authorities). 

Tahapannya 1 Oktober 1962 Bendera Belanda diturunkan di tanah Papua, diganti dengan Bendera PBB.  Tanggal 2 Oktober 1962 bendera Belanda dinaikkan lagi bersama bendera PBB sampai tanggal 31 Desember 1962.  Bendera Merah Putih berkibar 1 Januari 1963 bersama bendera PBB kemudian pada tanggal 1 Mei 1963 bendera PBB diturunkan, bendera Merah Putih berkibar sendirian, penanda resmi  tanah Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Catatan sejarah yang sering dilupakan orang adalah sebab-sebab terjadinya persetujuan melalui jalur diplomasi adalah kekuatan militer sebagai penggentar.  Tidaklah mungkin akan tercapai persetujuan pengembalian Papua jika Indonesia tak membangun kekuatan militer secara besar-besaran pada waktu itu termasuk kehadiran 12 kapal selam siluman yang menggentarkan itu.  Catatan penting lainnya adalah dalam kondisi ekonomi yang serba kurang waktu itu, Indonesia sanggup membangun kekuatan militer yang paling disegani di bumi selatan Asia, menghadirkan 12 kapal selam hanya dalam waktu 2-3 tahun.  Bandingkan dengan sekarang yang kondisi ekonomi kita jauh lebih kuat dan gagah, mau mendatangkan 3 kapal selam “kelas welter ringan” saja prosesnya mbulet sampai lima tahun.  Sebenarnya kalau kita mau kita bisa setara dengan era Trikora dulu, punya 12 kapal selam bahkan lebih. Kalau kita mau, pertanyaannya adalah apakah kita mau.  Kalau memang ada kemauan pasti ada jalannya, kata pepatah, tetapi apakah kita memang mau.

*******
Jagvane / 27 Juli 2011