Sunday, June 19, 2011

Mengawal Ambalat Dengan Pola Trikora


Pesawat Tempur F16 TNI AU
Trikora adalah puncak kemarahan Presiden Soekarno setelah lebih dari sepuluh tahun Belanda tak mau juga hengkang dari bumi Papua.  Berbagai cara diplomasi dilakukan selama kurun sepuluh tahun itu sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda akhir Desember 1949.  Namun bukannya segera “mengemasi barang-barang”nya di Papua sebagaimana  amanat Konferensi Meja Bundar, Belanda malah memperkuat militernya di bumi cenderawasih dan bersiap memproklamirkan negara boneka Papua.

Bukan Soekarno namanya kalau tidak cerdas, bervisi, enerjik, menggelegar dan mampu berpikir out of the book. Jalan diplomasi tidak menampakkan perkembangan, langkah keras dia lakukan melalui cara menasionalisasikan seluruh perusahaan Belanda yang ada di Indonesia dan memulangkan paksa semua warga negara Belanda.  Itu terjadi tahun 1959.  Setahun kemudian tepat tanggal 17 Agustus 1960 RI memutuskan hubungan diplomatik dengan bekas penjajahnya itu.  Diplomasi untuk mengembalikan Irian Barat harus dipertegas dengan gelar kekuatan militer besar-besaran.  Ini dimulai tahun 1958 dengan kontrak pembelian alutsista dari blok Timur  (Polandia dan Cekoslovakia) sebesar US $ 80 juta. Tak lama kemudian 30 Mig 15 UTI tiba di tanah air.  Pada tahun yang sama Rusia (waktu itu masih Uni Sovyet) melalui sekutunya Polandia menyetujui pengadaan dua kapal selam kelas Whiskey.  Setahun kemudian tepatnya September 1959 dua kapal selam itu tiba di Surabaya dan diberi nama  RI Cakra dan RI Nanggala.

Desember 1960 delegasi Jendral Nasution bertandang ke Rusia dengan membawa daftar belanja alutsista seabreg.  Setahun kemudian Rusia menyetujui belanja alutsista untuk RI sebesar US $ 500 juta dollar, ini ekivalen dengan nilai US$ 2,5 milyar untuk ukuran sekarang.  Daftar belanja yang disetujui  itu adalah 10 kapal selam, 5 Destroyer, 8 Fregat, 14 Penyapu Ranjau, 22 Kapal Cepat Torpedo. Kemudian 40 Mig-17 Fresco, 30 Mig-19, 24 Mig-21, 26 Pesawat pembom jarak jauh Tu-16, 18 pembom taktis IL-28 Beagle, 8 Antonov, 12 Mi-4, 8 Mi-6,  6 radar, ratusan tank / panser amphibi. Pada saat yang sama TNI sudah memiliki  10 Hercules, 8 B-25 Mitchell, 6 B-26 Invader, 12 P51 D Mustang, 32 C-47 Dakota, 20 Heli Bell-204, 8 Heli Albatross, 4 Destroyer dan 8 Fregat dan 30 an KRI jenis lain.

Trikora dikumandangkan Presiden Soekarno di Yogya tanggal 19 Desember 1961.  Pemilihan tanggal ini untuk mengingatkan serangan frontal Belanda ke Yogya tanggal 19 desember 1948 namun tak mampu mengalahkan TNI.  Nah setelah Trikora dikumandangkan dimulailah kampanye  pengembalian Irian Barat, dibentuk Komando Mandala dengan komandan Mayjen Soeharto  awal Pebruari 1962 atau 2 minggu setelah pertempuran Arafuru. Pusat komando pengendalian pertempuran ada di Makassar.  Arafuru adalah spirit dan adrenalin komando Mandala yang kemudian melakukan puluhan inflitrasi dan penerjunan tak terduga di Irian sebelum operasi puncak Jayawijaya dilakukan.

Kekuatan daya pukul yang dimiliki TNI pada pertengahan tahun 1962 menjelang operasi gabungan amphibi Jayawijaya tanggal 12 Agustus 1962 untuk menyerang Biak sangat mengkhawatirkan AS.  Melalui pesawat mata-mata dan kapal selam armada ke 7 AS diperoleh informasi yang sangat mencekam, ada  manuver dan pemusatan kekuatan TNI AL di Teluk Peleng dan Halmahera.  Lebih dari 90 KRI berkumpul di Teluk Peleng dan 12 kapal Selam di Teluk Kupa-Kupa. Sementara berbagai pesawat tempur dan pembom ditempatkan di Morotai, Amahai, Letfuan, Langgur, Manado, Kendari, Makassar.

Laporan intelijen ini sampai ke telinga Presiden Kennedy dan beliau segera mengambil langkah darurat, mempertemukan kedua delegasi Indonesia dan Belanda untuk maju ke meja perundingan.  Inilah salah satu kepiawaian Soekarno.  Presiden RI pertama ini sengaja “membiarkan” kedatangan alutsista TNI AL dari Rusia datang  dan melewati laut Sulawesi yang tentu saja dekat dengan pangkalan armada ke 7 AS di Teluk Subic Philipina.  Kedatangan kapal penjelajah yang legendaris KRI Irian dari Rusia sengaja dipamerkan sebagai unjuk kekuatan dan bagian dari perang psikologis untuk menggentarkan armada kapal perang Belanda.  Dan memang Belanda ciut, begitu KRI Irian memasuki perairan Indonesia, kapal komando Belanda Karel Doorman menghindar menuju Australia.

Intelijen AS menangkap pesan bahwa tanggal 12 Agustus 1962 TNI akan dilakukan operasi gabungan amphibi menyerang Biak dengan nama operasi Jayawijaya.  Jumlah pasukan TNI yang disiapkan mencapai 30.000 pasukan  pendarat terdiri dari pasukan marinir dan angkatan darat.  Jika pertempuran ini terjadi, merupakan perang paling dahsyat setelah perang Korea dan diprediksi mampu memukul kekuatan Belanda yang dipimpin kapal induk Karel Doorman. Persyaratan serangan amphibi dengan kekuatan 3:1 telah dipenuhi oleh TNI.  Ini tentu saja akan mempermalukan blok Sekutu yang nota bene AS sebagai kepala premannya.  Padahal pada waktu bersamaan AS sedang  bertarung di perang Vietnam untuk membendung paham komunis di Asia tenggara.  

Kennedy berpendapat mestinya Belanda harus mengalah dan menyerahkan Papua ke Indonesia daripada membebani AS membantu Belanda melawan RI.  Presiden AS itu dalam sebuah pertemuan rahasia dengan Menlu Belanda memaksa negeri kincir angin itu untuk segera meninggalkan Irian Barat secara terhormat daripada diserang dan dikalahkan secara militer oleh pasukan TNI. Inilah sebuah ironi dari persekutuan itu, walaupun mereka sekutu tidak harus seirama dengan pendapat masing-masing.  Itulah sialnya si Belanda dan itu sudah jalan takdirnya.  Namun kunci penyelesaian dari kampanye pengembalian Irian ini adalah unjuk kekuatan dan gelar alutsista TNI secara besar-besaran, dipamerkan di depan armada ke 7 AS.

Bagaimana dengan Ambalat, mestinya pola dan metode Trikora menjadi referensi historisnya.  Memang saat ini ada 3-4 KRI yang berpatroli rutin di perairan itu termasuk membenahi infrastruktur pangkalan AL dan AU di Tarakan.  Juga menempatkan satuan Marinir di Sebatik, menjadikan Tarakan sebagai zona pangkalan militer segala matra, membangun pangkalan aju di Sangatta, mempersiapkan pangkalan kapal selam di Teluk Palu, menambah satuan tempur  setingkat brigade dan batalyon di Kalimantan dan Sulawesi.

Yang membedakan keduanya adalah kecepatan dan percepatan pemenuhan alutsistanya. Soekarno melalui instruksinya yang tegas dan lugas ingin agar pengadaan belanja alutsista TNI yang seabreg itu bisa dipenuhi dalam waktu 2-3 tahun, dan bisa !!.  Demikian juga dalam menentukan hari H penyerbuan amphibi ke Irian, Panglima Mandala Mayjen Soeharto yang berhitung cermat dan menganalisis dari kacamata militer  berpendapat bahwa kesiapan militer RI baru benar-benar ready for combat  bulan Januari 1963.  

Namun Soekarno menghendaki agar tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih sudah bisa dikibarkan di Irian Barat.  Maka ditetapkanlah operasi Jayawijaya tangal 12 Agustus 1962.  Hasilnya akhir bulan Juli 1962  armada TNI AL berkekuatan lebih 90 KRI sudah ready di pangkalan aju Teluk Peleng.  Sementara 12 kapal selam Whiskey Class sudah berpatroli di perairan Irian dan bahkan sudah mendaratkan pasukan khusus TNI AD di pantai Irian.  Total kekuatan armada TN AL adalah 130 KRI, 12 Kapal Selam.  TNI AU memiliki armada  lebih dari 130 pesawat tempur dan 30 an pesawat pembom jarak jauh dan berpeluru kendali.

Logikanya kalau kita mau saat ini kita bisa mempercepat proses pengadaan alutsista.  Tapi nyatanya mau beli 2 kapal selam saja prosesnya sampai 5 tahun belum kelar.  Meskipun begitu kita ( seluruh rakyat Indonesia loh) berharap tahun ini sudah ada eksekusi pengadaan kapal selam minimal 4 buah agar dalam 3 tahun ke depan kekuatan kapal selam kita mencapai 6 unit. Demikian juga proyek Light Fregat dengan membangun minimal 10 PKR berjalan lancar.  Proyek 100 KCR, proyek rudal Lapan, rudal C802, rudal Yakhont, rudal surface to air jarak sedang segera mengisi gudang arsenal kita.

Pengadaan tambahan 6 Sukhoi, hibah 24 F16, 9 Hercules, 24 UAV, 54 BMP-3F, 70 Tank IFV, 40 Panser Canon, 90 Meriam KH178 segera datang.  Untuk 16 Super Tucano dan 16 T50 tinggal menyambut kedatangannya.  Masih banyak jenis arsenal lain yang segara memenuhi kesatrian TNI di segala matra.  Kalau di era Trikora pemenuhan kebutuhan alutsista dapat dipenuhi dalam waktu 2-3 tahun, pengadaan alutsista TNI saat ini setidaknya dapat dipenuhi tahun 2014 untuk kebutuhan tempur minimal. 

Jadi Ambalat memang harus djaga dengan memamerkan kekuatan alutsista.  Kalau perlu melakukan manuver diperairan itu secara lugas dan kontinu. Jangan beri celah militer Malaysia memasuki Ambalat.  Itu jalan satu-satunya untuk menunjukkan eksitensi kedaulatan kita sekaligus kesiapan menghadapi konfrontasi militer berskala besar.  Diplomasi oke dan jalankan tapi harus dikawal dengan kekuatan militer yang tangguh.  Tidak bisa tidak.  Dan kalau ini tidak bisa dilaksanakan akan menjadi dosa sejarah bagi khalifah yang memimpin negeri ini.  Nilai plusnya sudah ada, pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik, cadangan devisa mencapai US$ 120 milyar, pendapatan per kapita sudah pencapai US$ 3.000, investasi menggemaskan dan lain-lain yang menunjukkan indikator ekonomi makro oke.

Sudah saatnya kita membangun kekuatan militer yang andal untuk mengawal Ambalat dan teritori lainnya dari unsur klaim dan melecehkan.  Kita memang perlu minimal 180 pesawat tempur, 300 KRI, 12 Kapal selam dan arsenal strategis lainnya didukung oleh kekuatan minimal 600 ribu prajurit TNI.  Jangan sampai telat mikir atau kelamaan memutuskan atau terlalu lama berdandan di kaca cermin padahal diluar hujan sudah turun dengan lebatnya sehingga tahu-tahu Ambalat pun tersapu banjir bandang lalu tiba-tiba muncul sebuah mercu suar baru dengan tulisan: Milik Kerajaan Melayu

*****
Jagvane  / 19 Juni 2011