Saturday, June 11, 2011

Alutsista TNI, Sebuah Keniscayaan Mutlak


Parade HUT TNI Di Surabaya
Seluruh matra TNI saat ini sedang berbenah menuju baju kesetaraan rantau dalam ujian keunggulan kegagahan jasmani berlapis alutsista modern. Pola perkuatan yang selama ini bersifat  darat centris diubah menjadi laut dan udara centris.  Jaman Trikora dan Dwikora kekuatan persenjataan angkatan laut dan udara Indonesia merupakan kekuatan penggentar yang memaksa lawan berhitung diri.  Namun setelah perubahan rezim Orla menjadi Orba tiba-tiba saja kekuatan laut dan udara menciut drastis sementara kekuatan matra darat menjadi lagu berjudul anak emas.

Pertanyaan paling menggema tentang hal itu adalah apakah penciutan kekuatan matra laut dan udara itu merupakan pesanan asing, atau yang paling pas, apa sih dosa matra laut dan udara sehingga kekuatan yang berkategori ayam jago itu berubah menjadi ayam sayur.  Beragam jawaban pun muncul antara lain alutsista blok Timur tak ada suku cadang, blok Barat bersedia mengganti jika seluruh alutsista made ini blok Timur dimusnahkan.  Dan jawaban yang paling mengena adalah menomorsatukan lebih dulu pembangunan ekonomi.

Situasi ini menjadi bertambah miris manakala pasukan TNI dengan “restu” Presiden Ford memasuki wilayah Timor Leste akhir tahun 1975 untuk mencegah paham komunis yang dianut Fretilin menguasai Lorosae.  Alutsista kita waktu itu sangat merana.  Boleh dikata tidak ada dukungan pesawat tempur manakala 8 Hercules melakukan penerjunan di medan tempur Baucau dan Dili, sehingga pasukan yang diterjunkan itu banyak yang menjadi korban tembakan dari Fretilin yang masih berkuasa waktu itu.  Meskipun begitu dengan semangat tempur yang tinggi  pasukan TNI dapat menguasai Lorosae hanya dalam waktu tidak lebih seminggu.

Timor Leste boleh jadi menjadi momentum perbaikan gizi alutsista TNI.  Sejak tahun 1976 dibawah komando Panglima TNI Jendral M Yusuf dimulailah proyek pengadaan alutsista segala matra meski tetap saja matra darat mendapat prioritas utama.  Maka pada tahun-tahun setelah itu berdatangan alutsista, matra udara antara lain 34 pesawat tempur A4 Skyhawk second  dan 16 F5E Tiger dari Amerika Serikat,  dan 20 Hawk Mk53 dari Inggris.  Belakangan diketahui bahwa 34 Skyhawk second itu ternyata dibeli dari Israel yang pernah digunakan dalam perang Arab-Israel tahun 1973.  Matra laut mendapat 2 kapal selam kelas Cakra dan belasan KRI dari jenis Fregat, Korvet dan PSK (Patrol Ship Killer).  Matra darat mendapat  ribuan panser, tank , howitzer, dan truk angkut personel.

Yang menggembirakan pada waktu Jendral Yusuf menjadi Panglima TNI tercatat ada 2 latihan gabungan TNI berskala besar yang melibatkan seluruh matra TNI.  Lokasinya pun sangat menantang yaitu Laut China Selatan dan Timor Leste. Jendral Yusuf adalah satu-satunya jendral yang paling sering berkunjung ke satuan-satuan tempur TNI berdialog langsung dengan prajurit, berdialog person to person sambil menepuk pundak prajuritnya dengan jiwa kebapakan yang dia miliki.  Beliau juga yang memodernisasi kekuatan persenjataan  personal pasukan TNI dengan melakukan revolusi penggantian persenjataan untuk 100 batalyon sekaligus dengan senjata jenis M16 pada medio tahun 70an.

Namun perkuatan alutsista yang dilakukan itu belum mampu mengimbangi keperkasaan TNI era Dwikora.  Tetap saja angkatan udara hanya sekedar “menggugurkan kewajibannya” dalam mengawal udara republik yang begitu luas ini.  Walaupun pada tahun 1990 sudah ditambah dengan 12 F16  kekuatan udara kita belum setara era Dwikora yang memiliki 140 pesawat tempur termasuk 20 pembom jarak jauh.

Kondisi angkatan laut sami mawon, alutsista semakin renta, 12 kapal selam  yang dimiliki berguguran satu persatu, tinggal 2 biji yaitu KRI Bramasta dan Pasopati.  Bramasta akhirnya gugur tanpa bertempur pertengahan 70an, tinggallah Pasopati menjanda sendirian dan akhirnya dipensiunkan tahun 1985 setelah dua penggantinya dari Jerman datang.  Kekuatan armada TNI AL tahun 80an hanya 80 kapal dan hanya 20an yang mampu beroperasi.  Benar-benar menderita jajaran angkatan laut.   Pasukan Marinir yang di era Dwikora bernama KKO mirip tanaman bonsai, tidak bisa besar karena tak dibesarkan. 

Tahun 90an TNI AL dengan “bantuan” Habibie mendapat 39 kapal perang second bekas Jerman Timur, setelah sebelumnya juga mendapat 6 Fregat Van Speijk dari Belanda.  Angkatan udara juga dengan lobby Habibie mendapatkan 40 pesawat tempur jenis Hawk 100/200 dari Inggris. Angkatan darat mendapatkan puluhan batteray rudal rapier dan radarnya untuk ditempatkan di obyek-obyek vital nasional, puluhan radar militer dan 120 tank Scorpion/Stormer buatan Inggris.

Semua yang diperoleh selama masa 40 tahun itu (1970- 2010) jika dikumpulkan menjadi satu belum mampu menyetarakan diri dengan kekuatan yang dimiliki TNI era Dwikora, sekali lagi belum bisa disamakan.  Padahal kekuatan yang dimiliki oleh TNI di jaman konfrontasi dengan Malaysia  bisa dikumpulkan hanya dalam waktu 4 tahun, sekali lagi hanya 4 tahun saudaraku dan dalam kondisi negara yang jauh dari sejahtera.

Nah, sekarang republik ini sudah sangat mampu untuk membenahi kekuatan hulubalangnya.  Presiden SBY mulai jabatannya yang kedua tahun 2009 melakukan revolusi besar-besaran dalam pengadaan alutista TNI segala matra.  Kita bisa lihat dan saksikan perkuatan alutsista TNI di semua satuan tempurnya.  Tahun 2010-2014 telah disetujui kucuran dana lebih dari 140 trilyun rupiah  hanya untuk pembelian dan perawatan alutsista.  Berbagai kontrak diteken, industri hankam dalam negeri “dimanusiakan” alias diberdayakan karena selama ini ditidakberdayakan, lebih senang beli dari luar karena komisinya gede karena urusannya adalah bukan untuk bangsaku melainkan bank saku nya.

Proses perkuatan itu sedang berjalan saat ini dan ini adalah sebuah keniscayaan mutlak untuk memberikan daya pukul optimal bagi pengawal NKRI.  Tahun 2014 diniscayakan merupakan pintu gerbang pertama dimana kita dapat menyaksikan postur kekuatan TNI yang gagah perkasa.  Dan itu baru pintu gerbang pertama padahal tahun-tahun setelah itu akan terus bertambah kuantitas dan kualitas alutsista TNI bak hasil produksi dalam negeri, kerjasama produksi dengan luar negeri maupun yang masih murni beli dari luar negeri.  Tahun 2014 boleh jadi kita merayakan kesetaraan kekuatan alutsista kita dengan kekuatan alutsista era Dwikora.

Oleh karena itu marilah kita sambut nilai perkuatan alutsista TNI  dengan semangat kebangsaan yang benar-benar untuk bangsaku bukan bank saku alias komisi.  Kita kawal terus proses pengadaan alutsista apakah itu Sukhoi, F16, T50, Super Tucano, KFX, Radar militer, Rudal jarak pendek dan menengah, Kapal Selam, PKR, KCR, Trimaran, Yakhont, C802, Tank IFV, Tank BMP3F, BTR-90, Panser Canon, Panser Anoa, Howitzer, Roket Rhan, Rudal Lapan dan lain-lain dengan semangat mengkritisi namun tidak untuk menghambat.  Penentuan jenis alutsista adalah wilayah TNI selaku user dan Pemerintah selaku pengambil kebijakan.  DPR tidak perlu ikut menentukan jenis alutsista apalagi berupaya mengambil alih proses pengadaannya dengan menjadi agen membela yang bayar. Paham ?!
***
Jagvane / 11 Juni 2011